TUGAS-TUGAS

Sabtu, 27 September 2014

Hermeneutika Gadamer

BAB I
PENDAHULUAN 
A.    Latar Belakang
            Perbincangan mengenai hermeneutika tidak lagi asing dalam keseharian kita, terkadang secara tidak sadar kita sendiri memperaktekkan hal tersebut dalam tindakan yang bisa dikategorikan dominan. Namun hal itu bukan berarti menyadarkan kita akan urgensi yang sebenarnya pada hermeneutika, hal itu dimungkinkan pengetahuan atau sangkaan kita akan hermeneutik hanyalah sebagai ‘ilmu tafsir’, sementara variabel-variabel filosofis dan kritisnya kita abaikan. Istilah hermeneutik sering diasosiasikan kepada tokoh mitologis Yunani yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagi seseorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan oleh pendengarnya.[1]
            Dalam proses menerjemahkan pesan dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut terdapat faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses hermeneutik tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Di balik proses hermeneutik berjubel elemen-elemen lain yang saling berkait dan berkelindan, seperti praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.
Selain itu, proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut telaah Fakhruddin Faiz, dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.[2]
            Sebelumnya mungkin telah dijelaskan asal kata hermeneutika, arti, dan sejarahnya. Pastinya, kalau kita menyimak penjelasan terdahulu tentang semua itu, maka kita akan mendapat sebuah pengertian sederhana mengenai hermeneutika, yaitu merupakan proses memahami, menerjemahkan dan menerangkan sebuah teks oleh penafsir (baca:pembaca). Dalam hal ini, kami memfokuskan kepada salah satu tokoh hermeneutika, Hans Georg Gadamer. Dia dikenal sebagai seorang filosof, pemikiran hermeneutika filosofis menjadikan corak tersendiri bagi dirinya. Lain halnya dengan para pendahulunya, seperti Shleiermacher, dia mengasumsikan bahwa dalam memahami suatu teks seorang penafsir harus berdasarkan perandaian-perandaian yang dibangun oleh historisitasnya di masa kini. Atas pemahaman itulah maka kami membahas hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sketsa biografi Hans-Georg Gadamer?
2.      Bagaimana pemikiran hermeneutika Hans-Georg Gadamer?
3.      Apa teori dan ilmuwan- ilmuwan sebelumnya yang memengaruhi Gadamer?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui sketsa biografi Hans-Georg Gadamer dan karya-karyanya
2.      Untuk menjelaskan pemikiran hermeneutika Hans-Georg Gadamer
3.      Untuk menjelaskan teori dan ilmuwan yang memengaruhi hermeneutika Gadamer
BAB II
PEMBAHASAN
Ditulis oleh Arif Okfyoki Istiawan dan Lailatul Maftuhah
A.    Biografi Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer terlahir sebagai anak kedua di tengah keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928) di kota Marburg, sebuah kota di bagian selatan Jerman[3] pada tahun 1900[4] dan mendapatkan pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan dikukuhkan menjadi profesor di Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya sebagai tenaga pengajar di Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami disintergrasi, seperti dikatakannya, bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu orientasi. Karya-karya asli monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristiteles, dan lain-lain.[5] Dari sekian karya monumentalnya tersebut, karya Truth and Method yang mengantarkan Gadamer dalam pergumulan intelektual dengan sejawatnya, dan dengan melalui itupula Gadamer dikenal sebagai tokoh utama filsafat hermeneutika. Filsafat hermeneutic yang dikembangkan oleh Heidegger dan Gadamer mencakup dua unsure utama: pertama, filsafat (transcendental) yang dibangun sebagai sebuah “hermeneutika mengenai faktistas” (Hedegger) dan “hermeneutika filosofis” (Gadamer). Kedua, teori hermeneutika (Dilthey, Betti) yang diberi kerangka filosofis.
Sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh dan belajar di Breslau di bawah Hönigswald, namun tak lama kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Ia mempertahankan disertasinya pada 1922.
Tak lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan mulai belajar dengan Martin Heidegger, yang saat itu merupakan seorang sarjana muda yang menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Löwith, dan Hannah Arendt. Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg, Gadamer mengikutinya di sana. Pengaruh Heideggerlah yang memberikan Gadamer pikiran bentuknya yang khas dan menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh neo-Kantian sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Gadamer menyusun habilitasinya pada 1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga. Ia tidak memperoleh jabatan yang dibayar pada masa Nazi dan tidak pernah bergabung dengan partai itu. Hanya menjelang akhir Perang Dunia ia menerima pengangkatan di Leipzig. Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme oleh pasukan pendudukan Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman Timur yang komunis pun tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga, dan karena itu ia pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt am Main dan kemudian menggantikan Karl Jaspers di Heidelberg pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga kematiannya pada 2002.[6]
Pada saat itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang terkenal dengan Jürgen Habermas megnenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar profesornya di Heidelberg. Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques Derrida ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak banyak memiliki kesamaan. Setelah kematian Gadamer, Derrida menyebut kegagalan mereka untuk menemukan titik temu sebagai salah satu kegagalan terburuk dalam hidupnya dan mengungkapkan, dalam obituari utama untuk Gadamer, rasa hormatnya yang besar baik secara pribadi maupun filosofis.[7]
Demikianlah biografi singkat Hans Georg Gadamer. Sekilas kita menyimak, Gadamer bukanlah orang pertama yang melahirkan konsep hermeneutika, namun jauh darinya. Hermeneutika telah muncul sejak zaman yunani kono (zaman Socrates, Plato, Aristoteles). Kemudian dikembangkan oleh generasi ilmuwan yang cakrawala pemikiranya tidak diragukan, misalnya Hegel, Karl Marx, Derrida, Immanual Kant, dan hingga pada pemikiran kontemporer seperti Heidegger dan Gadamer yang akan kita ulas pokok hermeneutikanya.
B.     Hermeneutika Hans-Georg Gadamer
            Hans Georg Gadamer adalah penulis kontemporer dalam bidang hermeneutik yang sangat terkemuka. Karyanya berjudul Wahrheit and Methode (Kebenaran dan Metode) banyak beredar di perpustakaan dan sirkulasi filsafat. Walaupun judul bukunya Kebenaran dan Methode, sebenarnya Gadamer tidak bermaksud menjadikan hermeneutika sebagai metode dan berada jauh dari kebenaran. Sebenarnya yang ingin ia tekankan adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Menurut Gadamer kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru menghalangi atau menghambat kebenaran. Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan melalui dialektika.[8]
            Dalam Kebenaran dan Metode karya Gadamer yang paling menarik adalah konsepnya tentang “Permainan”. Dalam hubungannya dengan pengalaman dalam bidang seni, permainan dapat dijadikan kerangka berfikir di dalam proses memahami yang menjadi pokok bahasan hermeneutika. Pemahaman mendampingi kita pada saat menghadapi objek-objek di dunia ini. Kita tidak menyadari hal itu kita memahami bahwa kita mengerti itu tidak penting bagi kita namun tanpa kesadaran itu, kita tidak dapat menangkap objek yang kita hadapi. Contohnya saja pada setiap permainan mempunyai aturan atau dinamika sendiri yang bersifat independen terhadap kesadaran para pemainnya. Namun untuk dapat bermain dengan baik, pertama-tama orang harus mengetahui lebih dahulu aturan-aturan dan dinamikanya. Sesudah seseorang menguasai aturan-aturan dan dinamika permainan tersebut, maka segera ia tidak menyadari adanya peraturan tersebut, bahkan ia juga tidak menyadari permainan itu sendiri. Gadamer juga menolak konsep hermeneutika sebagai metode, meskipun menurut dia hemeneutika adalah pemahaman, namun ia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.[9]
            Hans-Georg Gadamer adalah filosof mahaguru di Universitas tertua di Jerman, sekaligus raksasa pemikir abad XX, yang memiliki latar belakang pendidikan filologi, kebudayaan dan filsafat. Pandangannya tentang hermeneutika antara lain adalah:
1.      Hermeneutika menurut Gadamer
            Merupakan suatu usaha filsafati untuk mempertanggung jawabkan pemahaman sebagai proses ontologis di dalam manusia. Pemahaman bukan proses subyektif ataupun metode obyektifitas melainkan modus eksistensi manusia. Karena setiap pemahaman merupakan peristiwa historikal, dialektik dan kebahasaan.
            Bagi Gadamer hakikat hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. Sejalan dengan tesis Heidegger yang mengatakan bahwa ada secara radikal historikal sifatnya, begitu pula Gadamer mengatakan bahwa pemahaman bersifat historikal. Hal ini berarti bahwa pemahaman, bahkan manusia itu sendiri dikuasai oleh sejarah. Sejarah dan masa lalu adalah suatu struktur dengan pemahaman juga pengetahuan, pikiran kita. gerak historikal merupakan inti pemahaman. Umumnya tanpa disadari, pemahaman adalah hasil interaksi masa lalu dan masa kini.[10]
            Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita pada saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Oleh karena itu pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah mengetahui secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu. Misalnya dalam sejarah semua pengalaman yang hidup itu menyejarah, bahasa dan pemahaman juga menyejarah. Interpretasi bukanlah sekedar sesuatu yang ditambahkan atau dipaksakan masuk ke dalam pemahaman. Memahami selalu dapat berarti membuat interpretasi. Oleh karena itu interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman.[11] Tugas utama interpretator adalah menemukan pertanyaan yang padanya sebuah teks menghadirkan jawaban, memahami sebuah teks berarti memahami pertanyaan. Pada waktu yang sama sebuah teks hanya menjadi sebuah objek interpretasi dengan menghadirkan interpretator yang bertanya.[12]
2.      Hermeneutika tidak bersifat metodis tetapi bersifat ontologis-dialektis
            Gadamer menegaskan bahwa setiap pemahaman kita senantiasa merupakan suatu yang bersifat historis, dialektis dan kebahasaan. Bagi Gadamer bahasa dipandang sebagai proses penyingkapan kenyataan. Bahasalah yang memungkinkan kenyataan dipahami.[13] Bahasa merupakan pengubung, landasan komunikasi antara masa lalu dan masa kini. Kunci bagi pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan bukan manipulasi dan pengendalian. Menurut Gadamer hermeneutika berkaitan dengan pengalaman bukan hanya pengetahuan, berkaitan dengan dialektika bukan metodologi. Metode dipandang bukan merupakan suatu jalan untuk mencapai suatu kebenaran, karena metode mampu mengeksplisitkan kebenaran yang sudah implisit di dalam metode.[14]
            Baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.[15]
            Untuk dapat memahami sebuah teks kita harus membuang jauh  segala bentuk pra-konsepsi dengan maksud supaya kita menjadi terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh sebuah teks.
3.      Proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika ini, Gadamer meniscayakan empat faktor yang tidak boleh diabaikan.[16]
a.       Bildung[17] atau pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Hermeneutika harus berangkat dari kenyataan bahwa barang siapa hendak memahami, ia harus bertautan dengan masalahnya yang trdapat di dalam tradisi.[18] Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
b.      Sensus communis[19] atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan” atau dengan kata lain adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang mendasari pola sikap manusia.
c.       Pertimbangan[20], yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar.
d.      Taste atau Selera[21], yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual. Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai pengetahuan akal. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita pasti tahu penyebabnya.

C.     Teori dan Ilmuwan sebelumnya yang memengaruhi Gadamer
Menjelaskan ada pemikir yang mempengaruhi terbentuknya hermeneutik Gadamer. Heidegger menjadi pemikir utama yang memengaruhi terbentuknya hermeneutika Gadamer. Heidegger adalah guru sekaligus teman diskusi Gadamer. Pemikiran Heidegger yang menonjol pada hermeneutika Gadamer adalah tentang pemahaman historikalitas dalam memahami teks.
Dalam menjelaskan aspek baru dari hermeneutika, Gadamer banyak mengembangkan pemikiran Heidegger. Gadamer melihat bahwa terobosan radikal Heidegger ke problem pemahaman ontologis hermeneutik memberi sumbangan amat berharga bagi ilmu-ilmu hermeneutik. Secara terus terang Gadamer menyetujui pendapat Heidegger bahwa ”ada” selalu dimengerti lewat bahasa dan dalam dimensi waktu. Maka untuk sampai ”ada” kita perlu mengeusnal ”ada” itu sendiri. Ini berarti kita harus memahami. Memahami berarti memahami di dalam waktu dan menurut historitasnya.
            Keyakinan yang dimiliki Gadamer sama halnya dengan Martin Heidegger, ia meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat  kapasitas manusia sebagai sebuah Ada.[22] Gadamer juga memaknai hakikat hermeneutika yaitu ontologi dan fenomenologi pemahaman. Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya.[23] Pemahaman” atau “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa “mengerti” itu tidak lain daripada cara berada manusia sendiri. Dengan demikian, eksistensi manusia selalu di bangun oleh kualitas proses pemahaman itu sendiri. Sehingga sangatlah wajar jika Gadamer tidak hanya memusatkan perhatiannya pada satu tugas filsafat (teori hermeneutis), melainkan juga melewati banyak tugas lain yang mungkin dan karenanya pemikiran ini melihat semua tema yang ada dalam filsafat dari satu segi tertentu, yaitu hermeneutika.[24] Menurutnya hermeneutik mempunyai tugas terutama memahami teks, maka pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman, sehingga pembicara asli tidak akan gagal untuk menangakap nuansa-nuansa atau benang merah bahasanya sendiri.[25]  
            Penjelasan di atas menujukan adanya pengaruh besar Heidegger terhadap Gadamer dalam melahirkan konsep historikalitas, yaitu memahami teks adalah memahami sejarah dengan prinsip ruang dan waktu. Sejarah adalah kebenaran masa lalu, dan kebenaran masa lalu tidak selalu benar pada masa kini. Inilah menurt Gadamer, hermeneutika dengan prinsip ruang dan waktu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.                  Jadi Hans-Georg Gadamer (lahir di Marburg, Jerman, 11 Februari 1900 – meninggal di Heidelberg, Jerman, 13 Maret 2002 pada umur 102 tahun) adalah seorang filsuf Jerman yang paling terkenal untuk adi karyanya pada 1960, Kebenaran dan Metode (Wahrheit und Methode). Ia terlahir sebagai anak kedua di tengah keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928) di kota Marburg.
            Pada tahun 1929 Hans-Georg Gadamer memperoleh gelar doctor filsafat. Pada tahun 1929 ia menjadi “privatdozent” di Marburg dan menjadi profesor ditempat yang sama pada tahun 1937. Pada tahun 1939 ia pindah ke Leipzig dan pada tahun 1947 pindah ke Frankfurtam Main. Sejak tahun 1949 ia mengajar di Heidelberg sampai ia pensiun. Menjelang masa pensiunnya pada tahun 1960, karir filsafat Gadamer justru mencapai puncaknya, yaitu melalui publikasi bukunya yang berjudul “Kebenaran dan Metode” (Truth and method). Karya ini merupakan dukungan yang sangat berharga bagi karya Heidegger yang berjudul “Sein Und Zeit” (Beging and Time). Bahkan gagasan Gadamer cukup berpengaruh pula dalam ilmu-ilmu kemanusiaan seperti misalnya dalam sosiologi, teori kesustraan, sejarah, teologi, hukum dan bahkan dalam filsafat ilmu pengetahuan alam.
           
2.                  Hermeneutika menurut Gadamer merupakan suatu usaha filsafati untuk mempertanggungjawabkan pemahaman sebagai proses ontologis di dalam manusia. Pemahaman bukan proses subyektif ataupun metode obyektifitas melainkan modus eksistensi manusia. Karena setiap pemahaman merupakan peristiwa historikal, dialektik dan kebahasaan. Bagi Gadamer hakikat hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. Gadamer menegaskan bahwa setiap pemahaman kita senantiasa merupakan suatu yang bersifat historis, dialektis dan kebahasaan. Bagi Gadamer bahasa dipandang sebagai proses penyingkapan kenyataan. Bahasalah yang memungkinkan kenyataan dipahami.
            Baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.
            Ada 4 faktor proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika menurut gadamer, diantaranya : Bildung, Sensus communis, Pertimbangan, Taste atau Selera.

3.                  Menjelaskan ada pemikir yang mempengaruhi terbentuknya hermeneutik Gadamer. Heidegger menjadi pemikir utama yang memengaruhi terbentuknya hermeneutika Gadamer. Heidegger adalah guru sekaligus teman diskusi Gadamer. Pemikiran Heidegger yang menonjol pada hermeneutika Gadamer adalah tentang pemahaman historikalitas dalam memahami teks.
            Dalam menjelaskan aspek baru dari hermeneutika, Gadamer banyak mengembangkan pemikiran Heidegger. Gadamer melihat bahwa terobosan radikal Heidegger ke problem pemahaman ontologis hermeneutik memberi sumbangan amat berharga bagi ilmu-ilmu hermeneutik. Secara terus terang Gadamer menyetujui pendapat Heidegger bahwa ”ada” selalu dimengerti lewat bahasa dan dalam dimensi waktu.
            Keyakinan yang dimiliki Gadamer sama halnya dengan Martin Heidegger, ia meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat  kapasitas manusia sebagai sebuah Ada. Gadamer juga memaknai hakikat hermeneutika yaitu ontologi dan fenomenologi pemahaman. Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. Pemahaman” atau “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa “mengerti” itu tidak lain daripada cara berada manusia sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Atho, Nafisul dan Arif Fahrudin. Hermeneutika Transendental. Yogyakarta: IRCiSod, 2003
Bleicher, Josef. Hermeneutika Kontemporer. terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: Fajar Pustaka,           2007
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ        Press, 2005
Gadamer, Hans-Georg. Kebenaran dan Metode :Pengantar Filsafat Hermeneutika. terj.     Ahmad Sahidah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2004
http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer diakses 02 Mei 2014 pada jam 21.20 WIB
IKPI. Hermeneutik Sebuah Filsafat. Yogyakarta: Konisius ,1999
Kaelan. Filsafat Bahasa:Realitas Bahasa Hermeneutika dan Postmodernisme. Yogyakarta:           Paradigma, 2002
Muzir, Inyiak Ridwan. Hermeneutika Filosofis Hans-georg Gadamer. Yogyakarta: ar-Ruzz          Media, 2010
Poespoprodjo. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia: 2004
Purwanto, Artikel : Hermeneutika dan Metode Tafsir. Surabaya : UINSA Surabaya, 2014
Sumaryono. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1995









[1] Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 23-24
[2] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), 8-11.
[3] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-georg Gadamer, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2010),  40.
[4] IKPI, Hermeneutik Sebuah Filsafat, (Yogyakarta: Konisius ,1999), 67.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer
[8] Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 63
[9] Ibid., 63-64
[10] Poespoprodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 94-95
[11] Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 76
[12] Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, terj. Imam Khoiri,(Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007), 166
[13] Poesprodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 103.
[14] Kaelan, Filsafat Bahasa:Realitas Bahasa Hermeneutika dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 208
[15] Purwanto, Artikel : Hermeneutika dan Metode Tafsir (Surabaya : UINSA Surabaya, 2014), 2
[16] Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode :Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 10
[17] Ibid., 10
[18] Tradisi menurut Gadamer adalah proses yang menyatu dengan eksitensi manusia. Jadi untuk pemahaman teks, kita harus memasuki tradisi yang sama dengan yang dimiliki oleh teks prasyarat.
[19] Ibid., 22
[20] Ibid., 35
[21] Ibid., 40
[22] Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), 134.
[23] Poesprodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 94.
[24] Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), 134.
[25] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1993), 75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar