BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perbincangan mengenai hermeneutika
tidak lagi asing dalam keseharian kita, terkadang secara tidak sadar kita
sendiri memperaktekkan hal tersebut dalam tindakan yang bisa dikategorikan
dominan. Namun hal itu bukan berarti menyadarkan kita akan urgensi yang
sebenarnya pada hermeneutika, hal itu dimungkinkan pengetahuan atau sangkaan
kita akan hermeneutik hanyalah sebagai ‘ilmu
tafsir’, sementara variabel-variabel filosofis dan kritisnya kita abaikan. Istilah
hermeneutik sering diasosiasikan kepada tokoh mitologis Yunani yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan
yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagi seseorang yang
mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan
nama Mercurius. Tugas Hermes adalah
menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang
dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu, Hermes harus mampu
menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan
oleh pendengarnya.[1]
Dalam proses
menerjemahkan pesan dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut terdapat faktor
memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah
sesungguhnya rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi,
proses hermeneutik tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan
sebuah pesan. Di balik proses hermeneutik berjubel elemen-elemen lain yang
saling berkait dan berkelindan, seperti praanggapan, tradisi, dialektika,
bahasa, dan realitas.
Selain itu, proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu
semakin berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks.
Menurut telaah Fakhruddin Faiz, dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki
tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika
teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika
filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau
hermeneutika kritis.[2]
Sebelumnya mungkin telah dijelaskan
asal kata hermeneutika, arti, dan sejarahnya. Pastinya, kalau kita menyimak
penjelasan terdahulu tentang semua itu, maka kita akan mendapat sebuah
pengertian sederhana mengenai hermeneutika, yaitu merupakan proses memahami,
menerjemahkan dan menerangkan sebuah teks oleh penafsir (baca:pembaca). Dalam
hal ini, kami memfokuskan kepada salah satu tokoh hermeneutika, Hans Georg
Gadamer. Dia dikenal sebagai seorang filosof, pemikiran hermeneutika filosofis
menjadikan corak tersendiri bagi dirinya. Lain halnya dengan para pendahulunya,
seperti Shleiermacher, dia mengasumsikan bahwa dalam memahami suatu teks
seorang penafsir harus berdasarkan perandaian-perandaian yang dibangun oleh historisitasnya
di masa kini. Atas pemahaman itulah maka kami membahas hermeneutika filosofis
Hans Georg Gadamer ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sketsa biografi Hans-Georg Gadamer?
2.
Bagaimana
pemikiran hermeneutika Hans-Georg Gadamer?
3.
Apa teori dan ilmuwan- ilmuwan sebelumnya yang memengaruhi Gadamer?
C.
Tujuan
Masalah
1.
Untuk mengetahui sketsa biografi Hans-Georg Gadamer dan karya-karyanya
2.
Untuk
menjelaskan pemikiran hermeneutika Hans-Georg
Gadamer
3.
Untuk menjelaskan
teori dan ilmuwan yang memengaruhi hermeneutika Gadamer
BAB II
PEMBAHASAN
Ditulis oleh Arif Okfyoki Istiawan
dan Lailatul Maftuhah
A. Biografi
Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer
terlahir
sebagai anak kedua di tengah keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese
(1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928) di kota Marburg, sebuah kota
di bagian selatan Jerman[3] pada
tahun 1900[4]
dan mendapatkan pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Gadamer memperoleh
gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan dikukuhkan menjadi profesor di
Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya sebagai tenaga pengajar di
Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami disintergrasi, seperti dikatakannya,
bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu orientasi. Karya-karya asli
monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien
Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristiteles, dan lain-lain.[5] Dari sekian karya monumentalnya
tersebut, karya Truth and Method yang mengantarkan Gadamer dalam pergumulan
intelektual dengan sejawatnya, dan dengan melalui itupula Gadamer dikenal
sebagai tokoh utama filsafat hermeneutika. Filsafat hermeneutic yang
dikembangkan oleh Heidegger dan Gadamer mencakup dua unsure utama: pertama,
filsafat (transcendental) yang
dibangun sebagai sebuah “hermeneutika mengenai faktistas” (Hedegger) dan
“hermeneutika filosofis” (Gadamer). Kedua, teori hermeneutika (Dilthey, Betti)
yang diberi kerangka filosofis.
Sebagai
anak seorang kimiawan
farmasi yang belakangan juga menjadi rektor
universitas
di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam
dan makin lama makin tertarik akan humaniora.
Ia bertumbuh dan belajar di Breslau
di bawah Hönigswald,
namun tak lama kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian
Paul Natorp
dan Nicolai Hartmann.
Ia mempertahankan disertasinya pada 1922.
Tak
lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg
dan mulai belajar dengan Martin Heidegger,
yang saat itu merupakan seorang sarjana muda yang menjanjikan namun belum
memperoleh gelar profesor. Ia kemudian menjadi salah satu dari kelompok
mahasiswa seperti Leo Strauss,
Karl Löwith,
dan Hannah Arendt. Ia dan Heidegger
menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg,
Gadamer mengikutinya di sana. Pengaruh Heideggerlah yang memberikan Gadamer
pikiran bentuknya yang khas dan menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh
neo-Kantian sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Gadamer
menyusun habilitasinya
pada 1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di
Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi,
meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga.
Ia tidak memperoleh jabatan yang dibayar pada masa Nazi dan tidak pernah
bergabung dengan partai itu. Hanya menjelang akhir Perang Dunia ia menerima
pengangkatan di Leipzig.
Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme oleh pasukan pendudukan
Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman Timur yang komunis pun
tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga, dan karena itu ia
pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt am Main
dan kemudian menggantikan Karl Jaspers
di Heidelberg
pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga kematiannya pada
2002.[6]
Pada
saat itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method
("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang
terkenal dengan Jürgen Habermas
megnenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna
menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat
mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi
merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah
yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar
profesornya di Heidelberg. Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques Derrida
ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak banyak memiliki
kesamaan. Setelah kematian Gadamer, Derrida menyebut kegagalan mereka untuk
menemukan titik temu sebagai salah satu kegagalan terburuk dalam hidupnya dan
mengungkapkan, dalam obituari utama untuk Gadamer, rasa hormatnya yang besar
baik secara pribadi maupun filosofis.[7]
Demikianlah
biografi singkat Hans Georg Gadamer. Sekilas kita menyimak, Gadamer bukanlah
orang pertama yang melahirkan konsep hermeneutika, namun jauh darinya. Hermeneutika telah muncul sejak zaman
yunani kono (zaman Socrates, Plato, Aristoteles). Kemudian dikembangkan oleh
generasi ilmuwan yang cakrawala pemikiranya tidak diragukan, misalnya Hegel,
Karl Marx, Derrida, Immanual Kant, dan hingga pada pemikiran kontemporer
seperti Heidegger dan Gadamer yang akan kita ulas pokok hermeneutikanya.
B.
Hermeneutika
Hans-Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer adalah penulis kontemporer dalam
bidang hermeneutik yang sangat terkemuka. Karyanya berjudul Wahrheit and Methode (Kebenaran dan Metode) banyak beredar
di perpustakaan dan sirkulasi filsafat. Walaupun judul bukunya Kebenaran dan
Methode, sebenarnya Gadamer tidak bermaksud menjadikan hermeneutika sebagai
metode dan berada jauh dari kebenaran. Sebenarnya yang ingin ia tekankan adalah
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Menurut
Gadamer kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru
menghalangi atau menghambat kebenaran. Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan
melalui metode melainkan melalui dialektika.[8]
Dalam Kebenaran dan Metode karya Gadamer yang paling
menarik adalah konsepnya tentang “Permainan”. Dalam hubungannya dengan
pengalaman dalam bidang seni, permainan dapat dijadikan kerangka berfikir di
dalam proses memahami yang menjadi pokok bahasan hermeneutika. Pemahaman
mendampingi kita pada saat menghadapi objek-objek di dunia ini. Kita tidak
menyadari hal itu kita memahami bahwa kita mengerti itu tidak penting bagi kita
namun tanpa kesadaran itu, kita tidak dapat menangkap objek yang kita hadapi.
Contohnya saja pada setiap permainan mempunyai aturan atau dinamika sendiri
yang bersifat independen terhadap kesadaran para pemainnya. Namun untuk dapat
bermain dengan baik, pertama-tama orang harus mengetahui lebih dahulu aturan-aturan
dan dinamikanya. Sesudah seseorang menguasai aturan-aturan dan dinamika
permainan tersebut, maka segera ia tidak menyadari adanya peraturan tersebut,
bahkan ia juga tidak menyadari permainan itu sendiri. Gadamer juga menolak
konsep hermeneutika sebagai metode, meskipun menurut dia hemeneutika adalah
pemahaman, namun ia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.[9]
Hans-Georg Gadamer adalah filosof mahaguru di Universitas
tertua di Jerman, sekaligus raksasa pemikir abad XX, yang memiliki latar belakang
pendidikan filologi, kebudayaan dan filsafat. Pandangannya tentang hermeneutika
antara lain adalah:
1. Hermeneutika menurut Gadamer
Merupakan suatu usaha filsafati untuk mempertanggung jawabkan
pemahaman sebagai proses ontologis di dalam manusia. Pemahaman bukan proses
subyektif ataupun metode obyektifitas melainkan modus eksistensi manusia.
Karena setiap pemahaman merupakan peristiwa historikal, dialektik dan
kebahasaan.
Bagi Gadamer hakikat hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi
pemahaman yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya
sebagaimana adanya. Sejalan dengan tesis Heidegger yang mengatakan bahwa ada
secara radikal historikal sifatnya, begitu pula Gadamer mengatakan bahwa
pemahaman bersifat historikal. Hal ini berarti bahwa pemahaman, bahkan manusia
itu sendiri dikuasai oleh sejarah. Sejarah dan masa lalu adalah suatu struktur
dengan pemahaman juga pengetahuan, pikiran kita. gerak historikal merupakan
inti pemahaman. Umumnya tanpa disadari, pemahaman adalah hasil interaksi masa
lalu dan masa kini.[10]
Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat diterapkan pada
keadaan kita pada saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa
sejarah, dialektik dan bahasa. Oleh karena itu pemahaman selalu mempunyai
posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini pemahaman tidak pernah
bersifat objektif dan ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah mengetahui secara statis
dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu. Misalnya
dalam sejarah semua pengalaman yang hidup itu menyejarah, bahasa dan pemahaman
juga menyejarah. Interpretasi bukanlah sekedar sesuatu yang ditambahkan atau
dipaksakan masuk ke dalam pemahaman. Memahami selalu dapat berarti membuat
interpretasi. Oleh karena itu interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari
pemahaman.[11] Tugas
utama interpretator adalah menemukan pertanyaan yang padanya sebuah teks
menghadirkan jawaban, memahami sebuah teks berarti memahami pertanyaan. Pada
waktu yang sama sebuah teks hanya menjadi sebuah objek interpretasi dengan
menghadirkan interpretator yang bertanya.[12]
2. Hermeneutika tidak bersifat metodis tetapi bersifat
ontologis-dialektis
Gadamer menegaskan bahwa setiap pemahaman kita senantiasa
merupakan suatu yang bersifat historis, dialektis dan kebahasaan. Bagi Gadamer
bahasa dipandang sebagai proses penyingkapan kenyataan. Bahasalah yang
memungkinkan kenyataan dipahami.[13]
Bahasa merupakan pengubung, landasan komunikasi antara masa lalu dan masa kini.
Kunci bagi pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan bukan manipulasi dan
pengendalian. Menurut Gadamer hermeneutika berkaitan dengan pengalaman bukan
hanya pengetahuan, berkaitan dengan dialektika bukan metodologi. Metode
dipandang bukan merupakan suatu jalan untuk mencapai suatu kebenaran, karena
metode mampu mengeksplisitkan kebenaran yang sudah implisit di dalam metode.[14]
Baginya pemahaman
yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan
metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi
melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa
menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.[15]
Untuk dapat memahami sebuah teks kita harus membuang jauh
segala bentuk pra-konsepsi dengan maksud
supaya kita menjadi terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh sebuah teks.
3.
Proses pemahaman dan
interpretasi dengan sistem dialektika ini, Gadamer meniscayakan empat faktor yang tidak
boleh diabaikan.[16]
a.
Bildung[17] atau pembentukan jalan pikiran. Dalam
kaitannya dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca
sebuah teks, maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan
ikut berperan. Hermeneutika harus berangkat dari kenyataan bahwa barang siapa
hendak memahami, ia harus bertautan dengan masalahnya yang trdapat di dalam
tradisi.[18] Dengan
demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia,
dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat
memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang
tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
b.
Sensus communis[19] atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang
mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan
sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan” atau dengan
kata lain adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang
mendasari pola sikap manusia.
c.
Pertimbangan[20],
yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang
universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang
harus dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor
ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini
menjadi pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin
pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan
diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan
benar.
d.
Taste atau Selera[21],
yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau
keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual. Gadamer
menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai
pengetahuan akal. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita pasti
tahu penyebabnya.
C. Teori dan Ilmuwan sebelumnya yang memengaruhi Gadamer
Menjelaskan ada pemikir yang mempengaruhi
terbentuknya hermeneutik Gadamer. Heidegger menjadi pemikir utama yang memengaruhi
terbentuknya hermeneutika Gadamer. Heidegger adalah guru sekaligus teman
diskusi Gadamer. Pemikiran Heidegger yang menonjol pada hermeneutika Gadamer
adalah tentang pemahaman historikalitas dalam memahami teks.
Dalam menjelaskan aspek
baru dari hermeneutika, Gadamer banyak mengembangkan pemikiran Heidegger. Gadamer
melihat bahwa terobosan radikal Heidegger ke problem pemahaman ontologis
hermeneutik memberi sumbangan amat berharga bagi ilmu-ilmu hermeneutik. Secara
terus terang Gadamer menyetujui pendapat Heidegger bahwa ”ada” selalu
dimengerti lewat bahasa dan dalam dimensi waktu. Maka untuk sampai ”ada” kita perlu
mengeusnal ”ada” itu sendiri. Ini berarti kita harus
memahami. Memahami berarti memahami di dalam waktu dan menurut historitasnya.
Keyakinan yang dimiliki Gadamer sama halnya dengan Martin
Heidegger, ia meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses
universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat
kapasitas manusia sebagai sebuah Ada.[22]
Gadamer juga memaknai hakikat hermeneutika yaitu ontologi dan fenomenologi
pemahaman. Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya
sebagaimana adanya.[23] “Pemahaman”
atau “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental
dalam eksistensi manusia, atau lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa “mengerti”
itu tidak lain daripada cara berada manusia sendiri. Dengan demikian,
eksistensi manusia selalu di bangun oleh kualitas proses pemahaman itu sendiri.
Sehingga sangatlah wajar jika Gadamer tidak hanya memusatkan perhatiannya pada
satu tugas filsafat (teori hermeneutis), melainkan juga melewati banyak tugas
lain yang mungkin dan karenanya pemikiran ini melihat semua tema yang ada dalam
filsafat dari satu segi tertentu, yaitu hermeneutika.[24] Menurutnya hermeneutik mempunyai tugas terutama
memahami teks, maka pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan fundamental dengan
bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari
pemahaman, sehingga pembicara asli tidak akan gagal untuk menangakap
nuansa-nuansa atau benang merah bahasanya sendiri.[25]
Penjelasan di atas menujukan adanya pengaruh besar Heidegger
terhadap Gadamer dalam melahirkan konsep historikalitas, yaitu memahami teks
adalah memahami sejarah dengan prinsip ruang dan waktu. Sejarah adalah
kebenaran masa lalu, dan kebenaran masa lalu tidak selalu benar pada masa kini.
Inilah menurt Gadamer, hermeneutika dengan prinsip ruang dan waktu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Jadi Hans-Georg Gadamer (lahir
di Marburg, Jerman, 11 Februari 1900 – meninggal
di Heidelberg, Jerman, 13 Maret 2002 pada umur 102
tahun) adalah seorang filsuf Jerman yang paling terkenal
untuk adi karyanya pada 1960, Kebenaran dan
Metode (Wahrheit und Methode). Ia terlahir sebagai anak kedua di tengah
keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes
Gadamer (1867-1928) di kota Marburg.
Pada tahun 1929 Hans-Georg Gadamer
memperoleh gelar doctor filsafat. Pada tahun 1929 ia menjadi “privatdozent”
di Marburg dan menjadi profesor ditempat yang sama pada tahun 1937. Pada tahun
1939 ia pindah ke Leipzig dan pada tahun 1947 pindah ke Frankfurtam Main. Sejak
tahun 1949 ia mengajar di Heidelberg sampai ia pensiun. Menjelang masa
pensiunnya pada tahun 1960, karir filsafat Gadamer justru mencapai puncaknya,
yaitu melalui publikasi bukunya yang berjudul “Kebenaran dan Metode” (Truth
and method). Karya ini merupakan dukungan yang sangat berharga bagi karya
Heidegger yang berjudul “Sein Und Zeit” (Beging and Time). Bahkan
gagasan Gadamer cukup berpengaruh pula dalam ilmu-ilmu kemanusiaan seperti
misalnya dalam sosiologi, teori kesustraan, sejarah, teologi, hukum dan bahkan
dalam filsafat ilmu pengetahuan alam.
2.
Hermeneutika
menurut Gadamer merupakan suatu usaha filsafati untuk
mempertanggungjawabkan pemahaman sebagai proses ontologis di dalam manusia.
Pemahaman bukan proses subyektif ataupun metode obyektifitas melainkan modus
eksistensi manusia. Karena setiap pemahaman merupakan peristiwa historikal,
dialektik dan kebahasaan. Bagi Gadamer
hakikat hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman yakni, apa
hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. Gadamer
menegaskan bahwa setiap pemahaman kita senantiasa merupakan suatu yang bersifat
historis, dialektis dan kebahasaan. Bagi Gadamer bahasa dipandang sebagai
proses penyingkapan kenyataan. Bahasalah yang memungkinkan kenyataan dipahami.
Baginya pemahaman
yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan
metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi
melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa
menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.
Ada
4 faktor proses
pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika menurut gadamer,
diantaranya : Bildung, Sensus communis, Pertimbangan, Taste atau
Selera.
3.
Menjelaskan ada pemikir
yang mempengaruhi terbentuknya hermeneutik Gadamer. Heidegger menjadi pemikir utama yang memengaruhi
terbentuknya hermeneutika Gadamer. Heidegger adalah guru sekaligus teman
diskusi Gadamer. Pemikiran Heidegger yang menonjol pada hermeneutika Gadamer
adalah tentang pemahaman historikalitas dalam memahami teks.
Dalam menjelaskan aspek
baru dari hermeneutika, Gadamer banyak mengembangkan pemikiran Heidegger. Gadamer
melihat bahwa terobosan radikal Heidegger ke problem pemahaman ontologis
hermeneutik memberi sumbangan amat berharga bagi ilmu-ilmu hermeneutik. Secara
terus terang Gadamer menyetujui pendapat Heidegger bahwa ”ada” selalu
dimengerti lewat bahasa dan dalam dimensi waktu.
Keyakinan yang dimiliki Gadamer sama halnya dengan Martin
Heidegger, ia meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses
universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat
kapasitas manusia sebagai sebuah Ada. Gadamer juga memaknai hakikat
hermeneutika yaitu ontologi dan fenomenologi pemahaman. Yakni, apa hakikat
pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. “Pemahaman”
atau “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental
dalam eksistensi manusia, atau lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa “mengerti”
itu tidak lain daripada cara berada manusia sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Atho, Nafisul dan Arif Fahrudin. Hermeneutika Transendental. Yogyakarta:
IRCiSod, 2003
Bleicher, Josef. Hermeneutika
Kontemporer. terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika
Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005
Gadamer, Hans-Georg. Kebenaran
dan Metode :Pengantar Filsafat Hermeneutika. terj. Ahmad Sahidah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2004
http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer diakses 02 Mei 2014 pada jam 21.20 WIB
IKPI. Hermeneutik
Sebuah Filsafat. Yogyakarta: Konisius ,1999
Kaelan. Filsafat
Bahasa:Realitas Bahasa Hermeneutika dan Postmodernisme. Yogyakarta: Paradigma, 2002
Muzir, Inyiak Ridwan. Hermeneutika Filosofis
Hans-georg Gadamer. Yogyakarta: ar-Ruzz Media,
2010
Poespoprodjo. Hermeneutika.
Bandung: Pustaka Setia: 2004
Purwanto, Artikel : Hermeneutika
dan Metode Tafsir. Surabaya : UINSA Surabaya, 2014
Sumaryono. Hermeneutik:
Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1995
[2] Fakhruddin
Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an:
Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2005), 8-11.
[3] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika
Filosofis Hans-georg Gadamer, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2010), 40.
[5]
http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer
[6]
http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer
[7]
http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer
[9] Ibid.,
63-64
[12] Josef
Bleicher, Hermeneutika
Kontemporer, terj. Imam Khoiri,(Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007), 166
[14] Kaelan, Filsafat Bahasa:Realitas Bahasa
Hermeneutika dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 208
[15] Purwanto, Artikel : Hermeneutika dan Metode Tafsir (Surabaya : UINSA
Surabaya, 2014), 2
[16] Hans-Georg
Gadamer, Kebenaran dan Metode
:Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2004), 10
[17] Ibid.,
10
[18] Tradisi
menurut Gadamer adalah proses yang menyatu dengan eksitensi manusia. Jadi untuk
pemahaman teks, kita harus memasuki tradisi yang sama dengan yang dimiliki oleh
teks prasyarat.
[19] Ibid.,
22
[20] Ibid.,
35
[21] Ibid.,
40