TUGAS-TUGAS

Senin, 13 Oktober 2014

Kober Mie setan Surabaya
Surabaya- Bagi kalian yang pecinta makanan yang super pedas, jangan sampek ketinggalan kuliner yang satu ini “Mie setan”. Yang terletak di jl. Kaca Piring No 14 Surabaya
 Namanya yang angker  tidak membuat para remaja yang takut ke tempat ini, sebaliknya justru  antrian calon pembeli sampai keluar dari kedai tersebut. Pastinya buka pukul 15.00 wib dan tutup pukul 23.00 wib.
“Aku awalnya penasaran sama mie ini, sebab katanya temen-temenku rasanya unik, yaitu pedas dan gurih. Pokoknya beda sama mie-mie goreng lainnya. “ kata shofi mahasiswa UNESA
Di kedai tersebut, ada dua jenis mie yang dapat Anda bisa nikmat, yaitu mie setan dan mie iblis. Mie setan adalah mie rebus tanpa kuah, dengan tingkat kepedasan dari bintang satu sampai bintang lima. Atau setara dengan jumlah cabai 12, 25, 35, 45 hingga 60 biji.
Sedangkan mie iblis adalah mie goreng ala teppanyaki, yang diolah di atas panggangan pelat besi dengan tambahan kecap sehinga warnanya lebih merah dibandingkan mie setan. Level kepedasnnya pun dipatok sengan sebutan S untuk 10 cabai, M 20 cabai dan L dengan 30 cabai.

Dan di KOBER ini minumnya tak kalah seram yaitu es pocong, es gendruwo,es tuyul, es kuntilanak, es sundel bolong. Dan di kedai tersebut harga mienya cukup terjangkau, yaitu Rp 9 Ribu, baik level  1 sampai level  5 harnya tetep sama . 

Sabtu, 27 September 2014

Hermeneutika Gadamer

BAB I
PENDAHULUAN 
A.    Latar Belakang
            Perbincangan mengenai hermeneutika tidak lagi asing dalam keseharian kita, terkadang secara tidak sadar kita sendiri memperaktekkan hal tersebut dalam tindakan yang bisa dikategorikan dominan. Namun hal itu bukan berarti menyadarkan kita akan urgensi yang sebenarnya pada hermeneutika, hal itu dimungkinkan pengetahuan atau sangkaan kita akan hermeneutik hanyalah sebagai ‘ilmu tafsir’, sementara variabel-variabel filosofis dan kritisnya kita abaikan. Istilah hermeneutik sering diasosiasikan kepada tokoh mitologis Yunani yang bernama Hermes. Hermes adalah seorang utusan yang bertugas menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagi seseorang yang mempunyai kaki bersayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Tugas Hermes adalah menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena itu, Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan oleh pendengarnya.[1]
            Dalam proses menerjemahkan pesan dewa yang dilakukan oleh Hermes tersebut terdapat faktor memahami dan menerangkan sebuah pesan ke dalam medium bahasa. Inilah sesungguhnya rahim historis yang kemudian melahirkan hermeneutik. Akan tetapi, proses hermeneutik tidak sekadar memahami, menerjemahkan, dan menjelaskan sebuah pesan. Di balik proses hermeneutik berjubel elemen-elemen lain yang saling berkait dan berkelindan, seperti praanggapan, tradisi, dialektika, bahasa, dan realitas.
Selain itu, proses hermeneutik pun dari waktu ke waktu semakin berkembang mengikuti alur dialektika manusia yang semakin kompleks. Menurut telaah Fakhruddin Faiz, dalam perkembangannya, hermeneutik memiliki tiga model, yaitu hermeneutik sebagai cara untuk memahami atau hermeneutika teoritis, hermeneutik sebagai cara untuk memahami pemahaman atau hermeneutika filosofis, hermeneutik sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman atau hermeneutika kritis.[2]
            Sebelumnya mungkin telah dijelaskan asal kata hermeneutika, arti, dan sejarahnya. Pastinya, kalau kita menyimak penjelasan terdahulu tentang semua itu, maka kita akan mendapat sebuah pengertian sederhana mengenai hermeneutika, yaitu merupakan proses memahami, menerjemahkan dan menerangkan sebuah teks oleh penafsir (baca:pembaca). Dalam hal ini, kami memfokuskan kepada salah satu tokoh hermeneutika, Hans Georg Gadamer. Dia dikenal sebagai seorang filosof, pemikiran hermeneutika filosofis menjadikan corak tersendiri bagi dirinya. Lain halnya dengan para pendahulunya, seperti Shleiermacher, dia mengasumsikan bahwa dalam memahami suatu teks seorang penafsir harus berdasarkan perandaian-perandaian yang dibangun oleh historisitasnya di masa kini. Atas pemahaman itulah maka kami membahas hermeneutika filosofis Hans Georg Gadamer ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sketsa biografi Hans-Georg Gadamer?
2.      Bagaimana pemikiran hermeneutika Hans-Georg Gadamer?
3.      Apa teori dan ilmuwan- ilmuwan sebelumnya yang memengaruhi Gadamer?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui sketsa biografi Hans-Georg Gadamer dan karya-karyanya
2.      Untuk menjelaskan pemikiran hermeneutika Hans-Georg Gadamer
3.      Untuk menjelaskan teori dan ilmuwan yang memengaruhi hermeneutika Gadamer
BAB II
PEMBAHASAN
Ditulis oleh Arif Okfyoki Istiawan dan Lailatul Maftuhah
A.    Biografi Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer terlahir sebagai anak kedua di tengah keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928) di kota Marburg, sebuah kota di bagian selatan Jerman[3] pada tahun 1900[4] dan mendapatkan pendidikan filsafat di kota kelahirannya. Gadamer memperoleh gelar doktor filsafat pada tahun 1929 dan dikukuhkan menjadi profesor di Marburg tahun 1937 hingga masa akhir karirnya sebagai tenaga pengajar di Heidelbeg. Ketika negaranya baru mengalami disintergrasi, seperti dikatakannya, bahwa pemikirannya berupa mencari sesuatu orientasi. Karya-karya asli monumentalnya adalah Wahrheit und Methode, Philosophie und Hermeneutik, Klien Schriften, Die Idea des Quten Zwischen Plato und Aristiteles, dan lain-lain.[5] Dari sekian karya monumentalnya tersebut, karya Truth and Method yang mengantarkan Gadamer dalam pergumulan intelektual dengan sejawatnya, dan dengan melalui itupula Gadamer dikenal sebagai tokoh utama filsafat hermeneutika. Filsafat hermeneutic yang dikembangkan oleh Heidegger dan Gadamer mencakup dua unsure utama: pertama, filsafat (transcendental) yang dibangun sebagai sebuah “hermeneutika mengenai faktistas” (Hedegger) dan “hermeneutika filosofis” (Gadamer). Kedua, teori hermeneutika (Dilthey, Betti) yang diberi kerangka filosofis.
Sebagai anak seorang kimiawan farmasi yang belakangan juga menjadi rektor universitas di sana. Gadamer melawan desakan ayahnya agar mempelajari ilmu-ilmu alam dan makin lama makin tertarik akan humaniora. Ia bertumbuh dan belajar di Breslau di bawah Hönigswald, namun tak lama kemudian kembali ke Marburg untuk belajar dengan para filsuf Neo-Kantian Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Ia mempertahankan disertasinya pada 1922.
Tak lama kemudian, Gadamer mengunjungi Freiburg dan mulai belajar dengan Martin Heidegger, yang saat itu merupakan seorang sarjana muda yang menjanjikan namun belum memperoleh gelar profesor. Ia kemudian menjadi salah satu dari kelompok mahasiswa seperti Leo Strauss, Karl Löwith, dan Hannah Arendt. Ia dan Heidegger menjadi akrab, dan ketika Heidegger mendapatkan posisi di Marburg, Gadamer mengikutinya di sana. Pengaruh Heideggerlah yang memberikan Gadamer pikiran bentuknya yang khas dan menjauhkannya dari pengaruh-pengaruh neo-Kantian sebelumnya dari Natorp dan Hartmann.
Gadamer menyusun habilitasinya pada 1929 dan menghabiskan masa-masa awal 1930-an untuk memberikan kuliah di Marburg. Berbeda dengan Heidegger, Gadamer sangat anti-Nazi, meskipun ia tidak aktif secara politik pada masa Reich Ketiga. Ia tidak memperoleh jabatan yang dibayar pada masa Nazi dan tidak pernah bergabung dengan partai itu. Hanya menjelang akhir Perang Dunia ia menerima pengangkatan di Leipzig. Pada 1946, ia terbukti tidak tercemari oleh Naziisme oleh pasukan pendudukan Amerika dan diangkat menjadi rektor universitas. Jerman Timur yang komunis pun tidak disukai Gadamer, dibandingkan dengan Reich Ketiga, dan karena itu ia pindah ke Jerman Barat, pertama-tama menerima posisi di Frankfurt am Main dan kemudian menggantikan Karl Jaspers di Heidelberg pada 1949. Ia tetap dalam posisi ini, sebagai emeritus, hingga kematiannya pada 2002.[6]
Pada saat itulah ia menyelesaikan adi karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode") (1960) dan terlibat dalam perdebatannya yang terkenal dengan Jürgen Habermas megnenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini. Gadamerlah yang pertama-tama membuka jalan bagi Habermas untuk mendapatkan gelar profesornya di Heidelberg. Upaya yang lain untuk melibatkan Jacques Derrida ternyata kurang memberikan hasil karena kedua pemikir tidak banyak memiliki kesamaan. Setelah kematian Gadamer, Derrida menyebut kegagalan mereka untuk menemukan titik temu sebagai salah satu kegagalan terburuk dalam hidupnya dan mengungkapkan, dalam obituari utama untuk Gadamer, rasa hormatnya yang besar baik secara pribadi maupun filosofis.[7]
Demikianlah biografi singkat Hans Georg Gadamer. Sekilas kita menyimak, Gadamer bukanlah orang pertama yang melahirkan konsep hermeneutika, namun jauh darinya. Hermeneutika telah muncul sejak zaman yunani kono (zaman Socrates, Plato, Aristoteles). Kemudian dikembangkan oleh generasi ilmuwan yang cakrawala pemikiranya tidak diragukan, misalnya Hegel, Karl Marx, Derrida, Immanual Kant, dan hingga pada pemikiran kontemporer seperti Heidegger dan Gadamer yang akan kita ulas pokok hermeneutikanya.
B.     Hermeneutika Hans-Georg Gadamer
            Hans Georg Gadamer adalah penulis kontemporer dalam bidang hermeneutik yang sangat terkemuka. Karyanya berjudul Wahrheit and Methode (Kebenaran dan Metode) banyak beredar di perpustakaan dan sirkulasi filsafat. Walaupun judul bukunya Kebenaran dan Methode, sebenarnya Gadamer tidak bermaksud menjadikan hermeneutika sebagai metode dan berada jauh dari kebenaran. Sebenarnya yang ingin ia tekankan adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Menurut Gadamer kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru menghalangi atau menghambat kebenaran. Gadamer ingin mencapai kebenaran bukan melalui metode melainkan melalui dialektika.[8]
            Dalam Kebenaran dan Metode karya Gadamer yang paling menarik adalah konsepnya tentang “Permainan”. Dalam hubungannya dengan pengalaman dalam bidang seni, permainan dapat dijadikan kerangka berfikir di dalam proses memahami yang menjadi pokok bahasan hermeneutika. Pemahaman mendampingi kita pada saat menghadapi objek-objek di dunia ini. Kita tidak menyadari hal itu kita memahami bahwa kita mengerti itu tidak penting bagi kita namun tanpa kesadaran itu, kita tidak dapat menangkap objek yang kita hadapi. Contohnya saja pada setiap permainan mempunyai aturan atau dinamika sendiri yang bersifat independen terhadap kesadaran para pemainnya. Namun untuk dapat bermain dengan baik, pertama-tama orang harus mengetahui lebih dahulu aturan-aturan dan dinamikanya. Sesudah seseorang menguasai aturan-aturan dan dinamika permainan tersebut, maka segera ia tidak menyadari adanya peraturan tersebut, bahkan ia juga tidak menyadari permainan itu sendiri. Gadamer juga menolak konsep hermeneutika sebagai metode, meskipun menurut dia hemeneutika adalah pemahaman, namun ia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.[9]
            Hans-Georg Gadamer adalah filosof mahaguru di Universitas tertua di Jerman, sekaligus raksasa pemikir abad XX, yang memiliki latar belakang pendidikan filologi, kebudayaan dan filsafat. Pandangannya tentang hermeneutika antara lain adalah:
1.      Hermeneutika menurut Gadamer
            Merupakan suatu usaha filsafati untuk mempertanggung jawabkan pemahaman sebagai proses ontologis di dalam manusia. Pemahaman bukan proses subyektif ataupun metode obyektifitas melainkan modus eksistensi manusia. Karena setiap pemahaman merupakan peristiwa historikal, dialektik dan kebahasaan.
            Bagi Gadamer hakikat hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. Sejalan dengan tesis Heidegger yang mengatakan bahwa ada secara radikal historikal sifatnya, begitu pula Gadamer mengatakan bahwa pemahaman bersifat historikal. Hal ini berarti bahwa pemahaman, bahkan manusia itu sendiri dikuasai oleh sejarah. Sejarah dan masa lalu adalah suatu struktur dengan pemahaman juga pengetahuan, pikiran kita. gerak historikal merupakan inti pemahaman. Umumnya tanpa disadari, pemahaman adalah hasil interaksi masa lalu dan masa kini.[10]
            Menurut Gadamer, pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita pada saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Oleh karena itu pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah mengetahui secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu. Misalnya dalam sejarah semua pengalaman yang hidup itu menyejarah, bahasa dan pemahaman juga menyejarah. Interpretasi bukanlah sekedar sesuatu yang ditambahkan atau dipaksakan masuk ke dalam pemahaman. Memahami selalu dapat berarti membuat interpretasi. Oleh karena itu interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman.[11] Tugas utama interpretator adalah menemukan pertanyaan yang padanya sebuah teks menghadirkan jawaban, memahami sebuah teks berarti memahami pertanyaan. Pada waktu yang sama sebuah teks hanya menjadi sebuah objek interpretasi dengan menghadirkan interpretator yang bertanya.[12]
2.      Hermeneutika tidak bersifat metodis tetapi bersifat ontologis-dialektis
            Gadamer menegaskan bahwa setiap pemahaman kita senantiasa merupakan suatu yang bersifat historis, dialektis dan kebahasaan. Bagi Gadamer bahasa dipandang sebagai proses penyingkapan kenyataan. Bahasalah yang memungkinkan kenyataan dipahami.[13] Bahasa merupakan pengubung, landasan komunikasi antara masa lalu dan masa kini. Kunci bagi pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan bukan manipulasi dan pengendalian. Menurut Gadamer hermeneutika berkaitan dengan pengalaman bukan hanya pengetahuan, berkaitan dengan dialektika bukan metodologi. Metode dipandang bukan merupakan suatu jalan untuk mencapai suatu kebenaran, karena metode mampu mengeksplisitkan kebenaran yang sudah implisit di dalam metode.[14]
            Baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.[15]
            Untuk dapat memahami sebuah teks kita harus membuang jauh  segala bentuk pra-konsepsi dengan maksud supaya kita menjadi terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh sebuah teks.
3.      Proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika ini, Gadamer meniscayakan empat faktor yang tidak boleh diabaikan.[16]
a.       Bildung[17] atau pembentukan jalan pikiran. Dalam kaitannya dengan proses pemahaman atau penafsiran, jika seseorang membaca sebuah teks, maka seluruh pengalaman yang dimiliki oleh orang tersebut akan ikut berperan. Hermeneutika harus berangkat dari kenyataan bahwa barang siapa hendak memahami, ia harus bertautan dengan masalahnya yang trdapat di dalam tradisi.[18] Dengan demikian, penafsiran dua orang yang memiliki latar belakang, kebudayaan, usia, dan tingkat pendidikan yang berbeda tidak akan sama. Dalam proses penafsiran, bildung sangat penting. Sebab, tanpa bildung, orang tidak akan dapat memahami ilmu-ilmu tentang hidup atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Singkatnya, orang tidak dapat menginterpretasi ilmu-ilmu tersebut dengan caranya sendiri.
b.      Sensus communis[19] atau pertimbangan praktis yang baik atau pandangan yang mendasari komunitas. Istilah ini merujuk pada aspek-aspek sosial atau pergaulan sosial. Para filsuf zaman dulu menyebutnya dengan “kebijaksanaan” atau dengan kata lain adalah “suara hati”. Misalnya, sejarawan sangat memerlukan sensus communis untuk memahami latar belakang yang mendasari pola sikap manusia.
c.       Pertimbangan[20], yaitu menggolongkan hal-hal yang khusus atas dasar pandangan tentang yang universal. Pertimbangan merupakan sesuatu yang berhubungan dengan apa yang harus dilakukan. Faktor ini memang sulit untuk dipelajari dan diajarkan. Faktor ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan kasus-kasus yang ada. Faktor ini menjadi pembeda antara orang pintar dan orang bodoh. Orang bodoh yang miskin pertimbangan tidak dapat menghimpun kembali apa yang telah dipelajari dan diketahuinya sehingga ia tidak dapat mempergunakan hal-hal tersebut dengan benar.
d.      Taste atau Selera[21], yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa atau keseimbangan antara insting pancaindra dan kebebasan intelektual. Gadamer menyamakan selera dengan rasa. Dalam operasionalnya, selera tidak memakai pengetahuan akal. Jika selera menunjukkan reaksi negatif atas sesuatu, kita pasti tahu penyebabnya.

C.     Teori dan Ilmuwan sebelumnya yang memengaruhi Gadamer
Menjelaskan ada pemikir yang mempengaruhi terbentuknya hermeneutik Gadamer. Heidegger menjadi pemikir utama yang memengaruhi terbentuknya hermeneutika Gadamer. Heidegger adalah guru sekaligus teman diskusi Gadamer. Pemikiran Heidegger yang menonjol pada hermeneutika Gadamer adalah tentang pemahaman historikalitas dalam memahami teks.
Dalam menjelaskan aspek baru dari hermeneutika, Gadamer banyak mengembangkan pemikiran Heidegger. Gadamer melihat bahwa terobosan radikal Heidegger ke problem pemahaman ontologis hermeneutik memberi sumbangan amat berharga bagi ilmu-ilmu hermeneutik. Secara terus terang Gadamer menyetujui pendapat Heidegger bahwa ”ada” selalu dimengerti lewat bahasa dan dalam dimensi waktu. Maka untuk sampai ”ada” kita perlu mengeusnal ”ada” itu sendiri. Ini berarti kita harus memahami. Memahami berarti memahami di dalam waktu dan menurut historitasnya.
            Keyakinan yang dimiliki Gadamer sama halnya dengan Martin Heidegger, ia meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat  kapasitas manusia sebagai sebuah Ada.[22] Gadamer juga memaknai hakikat hermeneutika yaitu ontologi dan fenomenologi pemahaman. Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya.[23] Pemahaman” atau “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa “mengerti” itu tidak lain daripada cara berada manusia sendiri. Dengan demikian, eksistensi manusia selalu di bangun oleh kualitas proses pemahaman itu sendiri. Sehingga sangatlah wajar jika Gadamer tidak hanya memusatkan perhatiannya pada satu tugas filsafat (teori hermeneutis), melainkan juga melewati banyak tugas lain yang mungkin dan karenanya pemikiran ini melihat semua tema yang ada dalam filsafat dari satu segi tertentu, yaitu hermeneutika.[24] Menurutnya hermeneutik mempunyai tugas terutama memahami teks, maka pemahaman itu sendiri mempunyai hubungan fundamental dengan bahasa. Kita menumbuhkan di dalam bahasa kita sendiri unsur-unsur penting dari pemahaman, sehingga pembicara asli tidak akan gagal untuk menangakap nuansa-nuansa atau benang merah bahasanya sendiri.[25]  
            Penjelasan di atas menujukan adanya pengaruh besar Heidegger terhadap Gadamer dalam melahirkan konsep historikalitas, yaitu memahami teks adalah memahami sejarah dengan prinsip ruang dan waktu. Sejarah adalah kebenaran masa lalu, dan kebenaran masa lalu tidak selalu benar pada masa kini. Inilah menurt Gadamer, hermeneutika dengan prinsip ruang dan waktu.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.                  Jadi Hans-Georg Gadamer (lahir di Marburg, Jerman, 11 Februari 1900 – meninggal di Heidelberg, Jerman, 13 Maret 2002 pada umur 102 tahun) adalah seorang filsuf Jerman yang paling terkenal untuk adi karyanya pada 1960, Kebenaran dan Metode (Wahrheit und Methode). Ia terlahir sebagai anak kedua di tengah keluarga pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928) di kota Marburg.
            Pada tahun 1929 Hans-Georg Gadamer memperoleh gelar doctor filsafat. Pada tahun 1929 ia menjadi “privatdozent” di Marburg dan menjadi profesor ditempat yang sama pada tahun 1937. Pada tahun 1939 ia pindah ke Leipzig dan pada tahun 1947 pindah ke Frankfurtam Main. Sejak tahun 1949 ia mengajar di Heidelberg sampai ia pensiun. Menjelang masa pensiunnya pada tahun 1960, karir filsafat Gadamer justru mencapai puncaknya, yaitu melalui publikasi bukunya yang berjudul “Kebenaran dan Metode” (Truth and method). Karya ini merupakan dukungan yang sangat berharga bagi karya Heidegger yang berjudul “Sein Und Zeit” (Beging and Time). Bahkan gagasan Gadamer cukup berpengaruh pula dalam ilmu-ilmu kemanusiaan seperti misalnya dalam sosiologi, teori kesustraan, sejarah, teologi, hukum dan bahkan dalam filsafat ilmu pengetahuan alam.
           
2.                  Hermeneutika menurut Gadamer merupakan suatu usaha filsafati untuk mempertanggungjawabkan pemahaman sebagai proses ontologis di dalam manusia. Pemahaman bukan proses subyektif ataupun metode obyektifitas melainkan modus eksistensi manusia. Karena setiap pemahaman merupakan peristiwa historikal, dialektik dan kebahasaan. Bagi Gadamer hakikat hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. Gadamer menegaskan bahwa setiap pemahaman kita senantiasa merupakan suatu yang bersifat historis, dialektis dan kebahasaan. Bagi Gadamer bahasa dipandang sebagai proses penyingkapan kenyataan. Bahasalah yang memungkinkan kenyataan dipahami.
            Baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis, bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.
            Ada 4 faktor proses pemahaman dan interpretasi dengan sistem dialektika menurut gadamer, diantaranya : Bildung, Sensus communis, Pertimbangan, Taste atau Selera.

3.                  Menjelaskan ada pemikir yang mempengaruhi terbentuknya hermeneutik Gadamer. Heidegger menjadi pemikir utama yang memengaruhi terbentuknya hermeneutika Gadamer. Heidegger adalah guru sekaligus teman diskusi Gadamer. Pemikiran Heidegger yang menonjol pada hermeneutika Gadamer adalah tentang pemahaman historikalitas dalam memahami teks.
            Dalam menjelaskan aspek baru dari hermeneutika, Gadamer banyak mengembangkan pemikiran Heidegger. Gadamer melihat bahwa terobosan radikal Heidegger ke problem pemahaman ontologis hermeneutik memberi sumbangan amat berharga bagi ilmu-ilmu hermeneutik. Secara terus terang Gadamer menyetujui pendapat Heidegger bahwa ”ada” selalu dimengerti lewat bahasa dan dalam dimensi waktu.
            Keyakinan yang dimiliki Gadamer sama halnya dengan Martin Heidegger, ia meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat  kapasitas manusia sebagai sebuah Ada. Gadamer juga memaknai hakikat hermeneutika yaitu ontologi dan fenomenologi pemahaman. Yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. Pemahaman” atau “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau lebih tepat lagi kalau dikatakan bahwa “mengerti” itu tidak lain daripada cara berada manusia sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

Atho, Nafisul dan Arif Fahrudin. Hermeneutika Transendental. Yogyakarta: IRCiSod, 2003
Bleicher, Josef. Hermeneutika Kontemporer. terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: Fajar Pustaka,           2007
Faiz, Fakhruddin. Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: eLSAQ        Press, 2005
Gadamer, Hans-Georg. Kebenaran dan Metode :Pengantar Filsafat Hermeneutika. terj.     Ahmad Sahidah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar:2004
http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer diakses 02 Mei 2014 pada jam 21.20 WIB
IKPI. Hermeneutik Sebuah Filsafat. Yogyakarta: Konisius ,1999
Kaelan. Filsafat Bahasa:Realitas Bahasa Hermeneutika dan Postmodernisme. Yogyakarta:           Paradigma, 2002
Muzir, Inyiak Ridwan. Hermeneutika Filosofis Hans-georg Gadamer. Yogyakarta: ar-Ruzz          Media, 2010
Poespoprodjo. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia: 2004
Purwanto, Artikel : Hermeneutika dan Metode Tafsir. Surabaya : UINSA Surabaya, 2014
Sumaryono. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1995









[1] Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 23-24
[2] Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), 8-11.
[3] Inyiak Ridwan Muzir, Hermeneutika Filosofis Hans-georg Gadamer, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2010),  40.
[4] IKPI, Hermeneutik Sebuah Filsafat, (Yogyakarta: Konisius ,1999), 67.
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer
[8] Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 63
[9] Ibid., 63-64
[10] Poespoprodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 94-95
[11] Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 76
[12] Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, terj. Imam Khoiri,(Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007), 166
[13] Poesprodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 103.
[14] Kaelan, Filsafat Bahasa:Realitas Bahasa Hermeneutika dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), 208
[15] Purwanto, Artikel : Hermeneutika dan Metode Tafsir (Surabaya : UINSA Surabaya, 2014), 2
[16] Hans-Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode :Pengantar Filsafat Hermeneutika, terj. Ahmad Sahidah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 10
[17] Ibid., 10
[18] Tradisi menurut Gadamer adalah proses yang menyatu dengan eksitensi manusia. Jadi untuk pemahaman teks, kita harus memasuki tradisi yang sama dengan yang dimiliki oleh teks prasyarat.
[19] Ibid., 22
[20] Ibid., 35
[21] Ibid., 40
[22] Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), 134.
[23] Poesprodjo, Hermeneutika, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 94.
[24] Nafisul Atho dan Arif Fahrudin, Hermeneutika Transendental, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), 134.
[25] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Filsafat, 1993), 75.

Kamis, 25 September 2014

AGAMA PRIMITIF DAN AGAMA MODERN

AGAMA PRIMITIF DAN AGAMA MODERN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Antropologi Agama
Oleh
Aimmatul Alawiyah                (E82211048)
Lailatul Maftuhah                   (E82211050)
Nur Hidayatus            Sholihah         (E82211052)
Muhammad Amin Faizin        (E82211051)
Azwar Anas Siregar                (E82211053)

Dosen Pengampu
Drs. Kunawi Basyir, M.Ag

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2012

AGAMA PRIMITIF DAN AGAMA MODERN
A.    Pendahuluan
Sebagaimana sering ditemukan pada diskusi-diskusi sebelumnya terdapat perbedaan mendasar ketika agama disebut sebagai fakta dari kebudayaan manusia. Perbedaan yang kemudian melahirkan perdebatan-perdebatan ini prinsipnya bukan sesuatu yang baru. Akan tetapi, telah menjadi perdebatan klasik yang sejak lama dibincangkan oleh berbagai kalangan. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat agama kerap dipersepsi sebagai kebenaran tunggal yang datang dari Tuhan, bersifat pasti dan mutlak, pada saat yang sama fakta sejarah juga menunjukkan bahwa agama tidak dapat dilepaskan dari daya kreatifitas manusia yang dengan sendirinya masuk dalam wilayah budaya.
Untuk membicarakan tentang agama primitif dan agama modern sebagai fokus bahasan yang dibicarakan pada diskusi makalah ini, agaknya terlebih dahulu perlu disepakati bahwa agama merupakan bagian dari budaya itu sendiri. Sebab berbicara mengenai agama primitif dan agama modern berarti membicarakan kebudayaan yang mengalami perubahan dari fase tradisional menuju modernitas. Hal ini tidak lain adalah dipengaruhi oleh tuntutan alamiah dalam kehidupan manusia.
Makalah sederhana ini bertujuan untuk memaparkan tentang definisi agama primitif dan modern serta segala sesuatu yang berhubungan dengan dua hal tersebut. Guna memperoleh hasil kajian yang lebih terarah, makalah in selanjutnya dimulai dengan memaparkan tentang definisi agama primitif dan modern. Kemudian menyinggung kembali tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan dua hal tersebut dan mengakhiri pembahasan dengan memaparkan proses perubahan dari agama primitif menuju agama modern
B.     Pengertian Agama Primitif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI) kata primitif yaitu keadaan yg sangat sederhana; belum maju (tt peradaban; terbelakang): kebudayaan.[1]
Istilah primitif atau kebudayaan ( keadaan yg sangat sederhana; belum maju ) dicirikan pada manusia atau sekelompok orang yang hidup pada waktu lampau, oleh karena itu primitif tidak dilihat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi dapat saja terjadi pada seseorang pada saat sekarang masyarakat modern.
Berdasarkan indikasi tertentu yang menunjukkan adanya karakteristik sebagai manusia primitif, bisa dilihat dari prilaku, pandangan, ataupun tradisi yang masih primitif sebagai contoh pada umumnya orang primitif tidak bisa menciptakan elektonik yang serba canggih, sehingga menganggap itu sebuah benda yang sangat keramat. selain itu, orang desa masih banyak yang bersifat primitif dibanding orang kota, baik dari segi pendidikan maupun kepercayaaan terhadap benda-benda yang dianggap keramat.
Berdasarkan hal tersebut, belum ada kesepakatan atau kesamaan pandangan berkanaan dengan istilah primitif, namun apabila pengertian primitif ini dikaitkan dengan agama, seperti yang dikemukakan oleh guru besar dari Antropologi sosial yang bernama E. Pritchard beliau menyatakan bahwa agama primitif merupakan bagian dari agama pada umumnya. Bahkan, semua orang yang berminat pada agama harus mengakui suatu studi tentang pandangan dan praktek keagamaan pada masyarakat primitif yang beraneka ragam coraknya.[2]
Apabila dilihat dari segi sudut pandangnya, Islam, Kristen, Hindu dan agama-agama lainnya dapat dikategorikan sebagai agama primitif, atau berawal dari praktek-praktek agama primitif, mungkin agama ini berkembang dari agama yang kecil menjadi besar, yang dalam kurun waktu yang sangat lama tejadilah perkambanagn agama tersebut.
Banyak kita jumpai sistem ritual, kepercayaan dan etika-etika manusia primitif misalnya, dinamisme, fetitisme, dan lain-lain yang dimana kesemuanya itu merupakan nama-nama ilmiah bagi suatu jenis keagamaan, agama primitif sendiri tidak mengenal adanaya isme-isme, kecuali orang yang memeluk agama Islam ia akan menyebut dirirnya muslim, sedangkan orang primitif tigak mengenal apakah dirinya animisme, dinamisme atau sebagainya.
Dalam hal ini manusia primitif adalah sekelompok masyarakat yang memiliki cirri dan karakteristik yang mempunyai isme-isme, praktek, dan tradisi tertentu yang dianut dan diyakininya. Seperti adanya kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus dan pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang, atau melakukan ritual tertentu terhadap benda-benda yang dianggap keramat dan diperyacaya memiliki kekuatan gaib.
Maka dengan adanya hal semacam ini timbulah adanya upacara bersaji atau sesajen pada masyarakat primitif, seperti halnya upacara bersaji dimana bersaji ini merupakan suatu keyakinan dan sudah menjadi doktrin, karena kegiatan ini merupakan perwujudan dari agama. Yang memiliki fungsi sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat yang dijujukan pada Dewa melalui adanya korban binatang.[3]
Setelah melihat uraian diatas dapat dikatakan bahwa masyarakat primitif berpadangan bahwa dunia dan alam sekitarnya bukanlah objek sebagai subjek, lain halnya dengan masyarakat modern memandang dirinya sebagai subjek sedangkan alam sebagai objeknya. Akibat dari tidak bisanya membedakan antara subjek dan objek antara manusia dan alam sektitarnya, akhirnya masyarakat primitif memandang sakral terhadap sesuatu yang dapat menimbulkan manfaat, kebaikan dan bencana, sebagai contoh apabila ada yang sakit mereka lebih mempercayai dukun dari pada dokter.
Selain itu keris pohon yang rindang mereka menganggap semua itu memiliki sesuatu yang sangat sakral sehingga perlu dipelihara dan dihormati. Jika kita amati benda-benda tersebut menjadi sakral dikarenakan sikap manusia itu sendiri yang selalu menganggap benda itu sakral, dalam hal ini kehidupan manusia primitif dipenuhi dengan upacara keagamaan. Oleh karena itu upacara-upacara keagamaan mewarnai aktivitas kehidupan mereka, seperti pada saat membuka sawah, ladang, perkawinan, serta perbuatan-perbuatan lainnya. Dalam setiap upacara memiliki mite-nya tersendiri, yang mempunyai suatu naskah atau skenario dari seluruh perbuatan manusia yang harus dilakukan pada setiap upacara dalam hidupnya.
Agama-agama primitif meskipun disana sini bersifat sinkretis (antara dua aliran), pada hakekatnya sangat berbeda-beda karena telah bercampurnya bebagai unsur. Satu contoh adalah beberapa agama yang bersifat demonistis (kepercayaan dan pemujaan terhadap roh) tetapi ada agama yang sama sekali tidak mengandung unsur-unsur demonisme. Demikian pula ada daerah tertentu yang tak mengenal totemisme, tetapi didaerah lain ada sisa-sisa toteisme yang tidak jelas dan sukar ditetapkan.[4]
C.    Bentuk-Bentuk Agama Primitif
Dari pemikirian inilah kemudian lahir animisme, dinamisme, politeisme, henoteisme, dan monoteisme yang sekarang dikatagorikan sebagai kepercayaan dan kadang-kadang disebut sebagai agama alami.  
Manusia pada dasarnya memerlukan suatu bentuk kepercayaan kepada kekuatan ghaib. Kepercayaan ini akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup budayanya. Nilai-nilai itu kemudian melembaga  dalam tradisi-tradisi yang diwariskan turun-temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena itu, tradisi sangat sulit berubanya dan kalau pn berubah sangat lambat.
Dalam sejarah kepercayaan umat manusia yang sudah ribuan tahun yang lalu, hanya tercatat beberapa perkembangan sistem kepercayaan kepada yang ghaib, yaitu dinamisme, animisme, politeisme, henoteisme, dan monoteisme. Kepercayaan dinamisme, animisme yang dianggap sebagai awal dari kepercayaan umat manusia, dan sampai sekarang kepercayaan itu masih terdapat di berbagai lapisan masyarakat. Walaupun kepercayaan itu tidak seperti masyarakat primitive tetapi masih ada kemiripan, seperti meminta pertolongan kepada dukun, paranormal dan memakai cincin/benda tertentu agar terhindar dari bahaya dan bencana.[5]
Adapun pengertiannya sebagai berikut
1.      Agama Dinamisme ialah : Agama yang mengandung kepercayaan pada kekuatan gaib yang misterius. Dalam faham ini ada benda – benda tertentu yang mempunyai kekuatan gaib dan berpengaruh pada kehidupan manusia sehari – hari. Kekuatan gaib itu ada yang bersifat baik dan ada pula yang bersifat jahat. Dan dalam bahasa ilmiah kekuatan gaib itu disebut ‘mana’ dan dalam bahasa Indonesia ‘tuah atau sakti’.
2.      Agama Animisme ialah : Agama yang mengajarkan bahwa tiap – tiap benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa, mempunyai roh. Bagi masyarakat primitif roh masih tersusun dari materi yang halus sekali yang dekat menyerupai uap atau udara. Roh dari benda – benda tertentu adakalanya mempunyai pengaruh yang dasyat terhadap kehidupan manusia, Misalnya : Hutan yang lebat, pohon besar dan ber daun lebat, gua yang gelap dll.
3.      Agama Monoteisme ialah : Adanya pengakuan yang hakiki bahwa Tuhan satu, Tuhan Maha Esa, Pencipta alam semesta dan seluruh isi kehidupan ini baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
4.      Agama Politeisme ialah : mengandung kepercayaan kepada dewa-dewa. Dewa-dewa dalam politeisme talah mempunyai tugas-tugas tertentu. Tujuan beragama dalam politeisme bukan hanya memberi sesajen atau persembahan kepada dewa-dewa itu, tetapi juga menyembah dan berdoa kepada mereka untuk menjauhkan amarahnya dari masyarakat yang bersangkutan.
Persamaan dari agama-agama primitif tersebut adalah manusia membujuk kekuatan supernatural dengan penyembahan dan saji-sajian supaya mengikuti kemauan manusia.
Perbedaan politeisme dan henoteisme
Jika pada politeisme, kepercayaan kepada dewa-dewa dan mengakui dewa terbesar diantara para dewa. Pada henoteisme, mengakui satu tuhan untuk satu bangsa, dan bangsa-bangsa lainnya mempunyai tuhannya sendiri. Keduanya masih menyakini dewa-dewa lain atau tuhan-tuhan lain(bukan monoteisme).[6]
D.    Teori Perkembangan Kehidupan Modern Menurut Max Weber
Kehidupan modern ditandai oleh melemahnya pola-pola kehidupan tradisional dan berkembangnya rasionalitas. Masyarakat modern lebih menggunakan perhitungan-perhitungan rasional tentang cara yang paling efektif  dan efisie untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, masyarakat modern lebih percaya pada perhitungan rasional yang masuk akal dari pada percaya pada nasib atau campur tangan ilahi.[7]
Salah satu dari contoh sistem-sistem rasional itu adalah muncul birokrasi dan institusi-institusi masyarakat. Akan tetapi, walaupun masyarakat modern menciptakan banyak kemudahan dalam kehidupan, menurut Weber masyarakat modern tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan fundamental tentang makna dan tujuan hidup manusia. Dalam hal ini agama, walaupun sering dianggap kurang rasional masih mempunyai arti bagi kehidupan manusia, karena agama dapat memberikan makna dan arti kehidupan bagi manusia.
Jika Durkheim mencemaskan masyarakat modern akan semakin jatuh dalam anomie, maka Max Weber mencemaskan bahwa rasionalisasi khususnya dalam organisasi-organisasi formal akan menciptakan dehumanisasi ketika manusia semakin banyak diatur oleh organisasi birokratis yang impersonal.
E.     Arti Penting Agama Pada Zaman Modern
Secara umum, agama merupakan alat untuk membawa kedamaian dan kepuasan jiwa, kenyamanan jiwa dengan keyakinan tertentu. Banyak orang sepakat bahwa perlu ada cara duniawi untuk memberikan kedamaian cita. Namun, jika kita berbicara mengenai sebuah jalan untuk memberikan kedamaian cita berdasarkan keyakinan, akan ada dua kelompok agama yaitu keyakinan tanpa filsafat dan keyakinan dengan filsafat.
 Di zaman purbakala, orang menggunakan keyakinan untuk memberikan harapan dan kenyamanan saat mereka menghadapi keadaan-keadaan yang runyam. Dalam keadaan semacam itu, kepercayaan menyediakan harapan. Sebagai contoh, dengan adanya cahaya kita merasa lebih aman. Sumber cahaya adalah matahari, sehingga matahari merupakan sesuatu yang suci bagi penyembah matahari. Api menyediakan kenyamanan saat kita kedinginan dan oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang baik. Api kadang kala datang dari kilat yang misterius dan oleh karenanya api dan kilat dianggap sama-sama suci. Itu adalah kepercayaan primitif tanpa filsafat.[8]
Peradaban lembah Indus di India dan perdaban Cina termasuk dalam kelompok kedua. Mereka lebih banyak memiliki agama yang memiliki ideologi. Mungkin lebih banyak di peradaban lembah Indus dari pada di tempat lain. Di India, tiga atau empat ribu tahun yang lalu sudah ada keyakinan dengan pola pikir filsafat tertentu.[9]
Agama-agama Timur Tengah; Yahudi, Kristen, dan Islam percaya akan adanya akhirat, dan menurut mereka kebenaran tertinggi adalah Tuhan. Tuhan itu pasti mempunyai kekuatan yang tak terbatas dan Tuhan melampaui pengalaman kita. Dan itulah agama teistik. Sedangkan agama non-teistik berpandangan bahwa semua yang datang dari sebab-sebab dan keadaannya sendiri.
Setiap orang selalu mempunyai kecenderungan yang berbeda. Oleh karena itu, di antara umat manusia mempunyai jalan hidup yang berbeda, cara berpikir yang berbeda. Perbedaan-perbedaan itu dipengaruhi oleh lingkungan, geografi dan iklim. Misalnya Arab dan India karena mempunyai kondisi geografis yang berbeda, maka gaya hidup mereka juga berbeda. Mungkin di zaman purbakala, orang-orang di manapun lebih mirip. Namun sekarang karena perbedaan-perbedaan itu, penting untuk memiliki berbagai pendekatan. Tapi perbedaan filsafat dan pola pikir itu tidak terlalu masalah. Yang terpenting adalah maksud dan tujuannya. Karena semua tradisi utama memiliki praktik yang sama, hanya saja cara dan filsafatnya yang berbeda.

Kesimpulan
Istilah primitif atau kebudayaan ( keadaan yg sangat sederhana; belum maju ) dicirikan pada manusia atau sekelompok orang yang hidup pada waktu lampau, oleh karena itu primitif tidak dilihat sebagai sesuatu yang ada dan hidup pada masa lampau, tetapi dapat saja terjadi pada seseorang pada saat sekarang masyarakat modern.
Agama-agama primitif meskipun disana sini bersifat sinkretis (antara dua aliran), pada hakekatnya sangat berbeda-beda karena telah bercampurnya bebagai unsur. Satu contoh adalah beberapa agama yang bersifat demonistis (kepercayaan dan pemujaan terhadap roh) tetapi ada agama yang sama sekali tidak mengandung unsur-unsur demonisme. Bentuk-bentuk agama primitif yaitu dinamisme, animisme, politeisme, henoteisme, dan monoteisme.
Kehidupan modern ditandai oleh melemahnya pola-pola kehidupan tradisional dan berkembangnya rasionalitas. Masyarakat modern lebih menggunakan perhitungan-perhitungan rasional tentang cara yang paling efektif  dan efisie untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, masyarakat modern lebih percaya pada perhitungan rasional yang masuk akal dari pada percaya pada nasib atau campur tangan ilahi.
Daftar Pustaka
Prasetyo, Joko Tri. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Rineka Cip. 1998.







[2]http://articelmakalah4u.blogspot.com/2009_07_01_archive.html   diakses pada 29-05-2013 pada jam 11:49
[3] Joko Tri Prasetyo, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: PT Rineka Cip, 1998) hal 48
[6]http://arifzuhud.blog.upi.edu/2010/03/13/agama-agamaprimitif    diakses pada 29/05/2013 pada jam 19:01
[7] http://koleksi.org/tips/pengertian-agama-modern, diakses pada 02/06/2013 pada jam 20:05
[9] Ibid.